Kata takdir berasal dari bahasa
Arab, yakni تقدير yang berakar kata dari kata قدر، يقدر، تقديرا
yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau
memberi kadar. Sedangkan menurut istilah, adalah ketentuan suatu
peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi
kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan
demikian segala sesuatu yang terjadi tentu sudah ada takdirnya, termasuk
manusia[1].
Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Furqaan
ayat 2:
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏGt #Ys9ur öNs9ur `ä3t ¼ã&©! Ô7ΰ Îû Å7ù=ßJø9$# t,n=yzur ¨@à2 &äóÓx« ¼çnu£s)sù #\Ïø)s? ÇËÈ
2. yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia
tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya[2].
Segala sesuatunya sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali
baik atau buruknya, dan bisa saja berubah jika ada usaha untuk merubahnya.
Sehingga, jika Allah telah mentakdirkan demikian, berarti Allah telah memberi
kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat maupun kemampuan
maksimal makhluknya. Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh berubah, dan
terkadang memang mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri[3].
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa adanya
kemungkinan perubahan takdir dari Allah SWT. Sebagaimana manusia diciptakan
oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna, akan tetapi tentunya tiap-tiap
diri manusia memiliki kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah
milik Allah semata. Walaupun manusia telah ditakdirkan dengan segala
kekurangannya, namun itu semua bukanlah menjadi suatu alasan bagi manusia untuk
terus menjadi yang terbaik. Dan langkah untuk mengubah suatu takdir yakni
dengan do’a, karena tidak ada sesuatu hal pun yang dapat mengubah takdir
kecuali do’a.
Menurut
ahli pakar ilmu Al-Qur’an, M. Quraish Shihab pun menyatakan bahwa dengan
adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depanya
sendiri sambil memohon bantuan Ilahi. Dalam
sebuah hadits Nabi SAW menjelaskan bahwa taqdir yang Allah SWT telah tentukan
bisa berubah[4]. Dan faktor yang dapat
mengubah takdir ialah doa seseorang. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak
ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan tidak
ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan)
baik.”
(HR Tirmidzi).
Takdir Allah SWT,
merupakan bagian dari rukun iman yang wajib kita yakini keberadaannya. Meyakini keberadaan takdir artinya percaya bahwa
segala hal dan peristiwa di alam raya ini terjadi atas izin dan ketentuan Allah
SWT. Tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang tanpa tujuan atau terjadi di luar
pengetahuan dan kuasa-Nya[5].
Kita meyakini bahwa Allah itu ada meskipun pada kenyataannya
kita semua sebagai makhluknya tidak dapat melihat wujud-Nya secara langsung.
Akan tetapi, kita dapat merasakan keberadaannya tersebut. Yakni dengan segala
ketentuan-ketentuan yang telah diatur serta disusun oleh-Nya secara baik[6].
Dan segala ketentuan tersebut merupakan suatu takdir yang
mana telah digariskan oleh Allah terhadap makhluk-makhluk Nya termasuk manusia.
Sebagai manusia kita pun tidak terlepas dari takdir Allah. Baik dari kelahiran,
kematian, jodoh, rezeki, dan bermacam peristiwa lain dalam hidup kita berada
dalam lingkup ketentuan-Nya[7].
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat 3 :
çmø%ãötur ô`ÏB ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾ÍnÌøBr& 4 ôs% @yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs% ÇÌÈ
3. dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.
Iman kepada qadha dan
qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah
menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya[8]. Rasulullah SAW bersabda ”Sesungguhnya
seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah,
40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah
mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat
ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan
hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud).
Dari hadits di atas
dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak sebelum ia
dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti
manusia hanya bisa tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar.
Manusia harus tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak
datang dengan sendirinya.
Janganlah menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk
malas berusaha dan berbuat kejahatan[9].
Dan
Allah pula telah
mencontohkan kisah Nabi Ya’qub dalam Al-Qur’an sebagai contoh nyata
pelajaran orang-orang yang ditimpa kesusahan dan larangan berputus asa. Nabi
Ya'qub yang terus berdo'a dan berharap pada Tuhannya setiap saat agar tidak
termasuk orang-orang yang berputus asa, karena berputus asa pada kebaikan Tuhan
adalah sifat-sifat orang yang kafir[10].
Kisah tersebut digambarkan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur’an surah Yusuf ayat 87:
¢ÓÍ_t7»t (#qç7ydø$# (#qÝ¡¡¡ystFsù `ÏB y#ßqã ÏmÅzr&ur wur (#qÝ¡t«÷($s? `ÏB Çy÷r§ «!$# ( ¼çm¯RÎ) w ߧt«÷($t `ÏB Çy÷r§ «!$# wÎ) ãPöqs)ø9$# tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÑÐÈ
87.
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Berikhtiarlah untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan kita, yakni dengan memilih jalan-jalan keluar yang baik-baik dan yang
diridhoi Allah SWT.
[1]
M.Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an. Hlm 303
[2] Maksudnya: segala sesuatu yang
dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan,
sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam hidup.
[6]
Saefuddin, takdir ?, Panca Setia,
(Subang:2008) cet :2, hlm 29
[7] Ibid, Saefuddin, takdir… Hlm 45
[8] Ibid, Saefuddin, takdir… Hlm 46
[9]
Ahmad Fatah, Memahami Takdir, (Pustaka
Setia: Bandung 2011) cet 1: hlm 12
[10] Ibid, Ahmad Fatah, Memahami Takdir… hlm 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar